Aku mengenal kata terserah...terserah apa katamu saja. Jika
itu terdengar pasrah, aku memang pasrah dengan apapun keputusan yang ia buat.
“Jadi....siapa...dia....yang berani sekali menghubungi mu
subuh-subuh seperti ini?” Teriak Anggi seraya menghempaskan telepon genggam
milik Tio.
“Bukan siapa-siapa....mengapa kalian mennyudutkanku seperti
ini” Bantahnya dengan amarah
Pagi ini, keributan itu kembali terjadi. Tetapi melibatkan
aku dan beberapa lainnya. Kali ini masalah kian meruncing. Dulu aku pernah
bermimpi menjadi seorang pendongeng yang bisa membuat cerita sesuka hati. “Suatu
saat nanti, aku ingin berdongeng cerita-cerita pahit yang berbuah manis” citaku
dulu. Kalau ingat mimpi itu aku menyesal pernah mengimpikan cerita pahit
seperti itu. Ternyata kenyataan pahit hanya bagus di sinetron yang klimaksnya
tak berujung. Untuk kehidupan nyata cerita pahit akan tetap pahit terasa.
Tio mendekati kami bertiga “Aku terserah dengan pendapat
kalian....” Ucapnya lembut tak seperti sebelumnya .
Fredi setahun lebih tua dariku berteriak histeris “Aku cuma
ingin diatas sana....diatas bianglala tanpa berputar. Aku hanya ingin diatas
sana. Kalau aku bisa melakukannya, aku ingin bianglala itu berhenti berputar
ketika aku sudah berada diatas. Persis dengan masalah ini...bisakah itu?”
Sedangkan Wely hanya terdiam. Aku tahu persis apa yang ia
pikirkan. Anak sekecil itu sudah tau bagaimana rasanya galau. Kasihan, aku
hanya bisa kasihan. Dia tidak bisa menangis karena ia berbeda dengan Fredi yang
bisa meluapkan isi hatinya. Dia hanya diam dalam rapuh. Ia besi berkarat yang
rentan galau. Aku memeluknya erat menguatkannya. Ternyata aku tak lebih rapuh
darinya.
“Terserah.....terserah pada kalian. Aku sudah pasrah....
kalau kalian ingin berpisah, pisahlah segera” Aku pergi melepaskan pelukanku
pada dia, adikku. Aku berdiri dan menatap mereka ayah dan ibuku. Aku berjalan
pergi meninggalkan episode pagi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar