Sabtu, 23 Februari 2013

Terserah



Aku mengenal kata terserah...terserah apa katamu saja. Jika itu terdengar pasrah, aku memang pasrah dengan apapun keputusan yang ia buat.
“Jadi....siapa...dia....yang berani sekali menghubungi mu subuh-subuh seperti ini?” Teriak Anggi seraya menghempaskan telepon genggam milik Tio.
“Bukan siapa-siapa....mengapa kalian mennyudutkanku seperti ini” Bantahnya dengan amarah
Pagi ini, keributan itu kembali terjadi. Tetapi melibatkan aku dan beberapa lainnya. Kali ini masalah kian meruncing. Dulu aku pernah bermimpi menjadi seorang pendongeng yang bisa membuat cerita sesuka hati. “Suatu saat nanti, aku ingin berdongeng cerita-cerita pahit yang berbuah manis” citaku dulu. Kalau ingat mimpi itu aku menyesal pernah mengimpikan cerita pahit seperti itu. Ternyata kenyataan pahit hanya bagus di sinetron yang klimaksnya tak berujung. Untuk kehidupan nyata cerita pahit akan tetap pahit terasa.
Tio mendekati kami bertiga “Aku terserah dengan pendapat kalian....” Ucapnya lembut tak seperti sebelumnya .
Fredi setahun lebih tua dariku berteriak histeris “Aku cuma ingin diatas sana....diatas bianglala tanpa berputar. Aku hanya ingin diatas sana. Kalau aku bisa melakukannya, aku ingin bianglala itu berhenti berputar ketika aku sudah berada diatas. Persis dengan masalah ini...bisakah itu?”
Sedangkan Wely hanya terdiam. Aku tahu persis apa yang ia pikirkan. Anak sekecil itu sudah tau bagaimana rasanya galau. Kasihan, aku hanya bisa kasihan. Dia tidak bisa menangis karena ia berbeda dengan Fredi yang bisa meluapkan isi hatinya. Dia hanya diam dalam rapuh. Ia besi berkarat yang rentan galau. Aku memeluknya erat menguatkannya. Ternyata aku tak lebih rapuh darinya.
“Terserah.....terserah pada kalian. Aku sudah pasrah.... kalau kalian ingin berpisah, pisahlah segera” Aku pergi melepaskan pelukanku pada dia, adikku. Aku berdiri dan menatap mereka ayah dan ibuku. Aku berjalan pergi meninggalkan episode pagi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar